
pks-tkp.ol, Jakarta – Partai politik Islam kembali diuji pada Pemilu 2009. Mereka dituntut merebut mayoritas pemilih Islam yang jumlahnya mencapai 90%. Seberapa besar peluang mereka mendulang suara? Masihkah seperti pemilu lalu?
Hasil pemilu 1999 dan 2004 lalu menunjukkan kekalahan dan kegagalan parpol Islam. Walaupun ada seruan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memilih calon legislatif (caleg) muslim, tetap tidak dihiraukan.
Menghadapi Pemilu 2009, antusiasme dan keyakinan elit politik partai Islam semakin besar. Mereka percaya bisa merebut suara mayoritas pemilih di Indonesia. Karena itu, parpol Islam memasang target cukup tinggi.
PPP dan PKS, misalnya, yakin bisa menyabet 15% suara. PBB menargetkan 10% dan PBR 7%. Sementara PKB dan PAN yang berbasiskan massa Islam menargetkan masing-masing 20% dan 15%.
Dalam kacamata pengamat politik LIPI, Lili Romli, sebagian besar kalangan elit partai Islam masih belum memahami dan menyadari kecilnya dukungan umat terhadap partai Islam. Ini tercermin dari tidak maunya partai Islam bergabung menjadi satu.
“Bahkan ada yang mendirikan partai baru akibat perpecahan internal. Sebut saja Partai Kebangkitan Nasional Ummat (PKNU) yang merupakan partai baru hasil pecahan dari PKB. Sedangkan lahirnya Partai Matahari Bangsa (PMB) merupakan produk pecahan dari PAN,” papar Lili.
Masa depan partai Islam memang mencemaskan. Dosen Politik Islam UIN Jakarta, Nanang Taqiq, misalnya, menilai secara keseluruhan dukungan pemilih Islam terhadap partai Islam relatif kecil. Merosotnya dukungan ini terkait dengan keberadaan umat Islam yang sebagian besar bersifat sosiologis, ketimbang ideologis. Sehingga mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang Islam sebagai sebuah ideologi.
“Sebagian besar umat Islam memiliki pandangan bahwa agama harus terpisah dari urusan-urusan politik,” kata Nanang.
Agaknya, Islam di Indonesia telah mengalami perubahan orientasi dalam pandangan politiknya. Modernisasi yang dilakukan pemerintah dan tokoh gerakan pembaruan ke-Islaman Nurcholish Madjid, telah membawa dampak cara pandang umat Islam yang tidak lagi terikat dengan simbol-simbol keIslaman. Ada perubahan di kalangan ummat, yang musti dicermati elite politik Islam.
Citra partai Islam yang ingin menegakkan syariat Islam masih melekat dari ingatan pemilih Islam yang mayoritas menolaknya. Belajar dari pengalaman, PKS tidak terlepas dari kebijakan politik ganda antara Islamisme dan good governance.
Sebagai partai Islam, PKS tetap mengusung nilai nilai Islam sebagai kehidupan politik di Indonesia. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai partai dakwah. Sementara dalam mendukung program pemerintahan yang baik, PKS mendasarkan pada partai yang bersih dan jujur. Dua faktor ini lalu menjadi daya tarik bagi pemilih Islam untuk memilih PKS.
Mereka yang memilih PKS sebagian besar berasal dari pemilih partai-partai Islam atau partai berbasiskan Islam. Kebanyakan mereka bukan berasal dari basis dukungan dari partai nasionalis seperti PDIP dan Golkar.
Setidaknya tema-tema yang bersifat keagamaan kurang menarik bagi pemilih Islam. Sebaliknya, mereka menginginkan tema-tema yang berkaitan dengan persoalan-persoalan riil dan strategis yang dihadapi masyarakat selama ini seperti kemiskinan, ketidakadailan, pendidikan yang mahal, dan lapangan kerja yang menyempit.
Dalam Pemilu 2009, partai-partai Islam sangat mungkin kehilangan daya tarik jika isu-isu riil dan strategis justru dikesampingkan. Menjual syariat Islam jelas sudah tak menarik, sementara kemiskinan umat masih membelenggu dan elit parpol Islam nyaris kehilangan gagasan baru yang jitu.
Walhasil, partai-partai Islam masih harus berjibaku dan berebut pemilih, sementara mungkin para konstituennya lari ke golput atau sudah beku. Sungguh, diperlukan sosok-sosok baru yang bisa memberikan api bagi partai Islam, bukan abu yang sudah mendebu. “Berikan api Islam bagi bangsa ini, bukan abunya,” kata Soekarno suatu ketika.
Jadi, hendak kemana partai-partai Islam? Datanglah ke ummat di tingkat bawah dan lakukan pemberdayaan nyata. Dari sana, terkembang harapan dan perolehan suara. [I4]
Hasil pemilu 1999 dan 2004 lalu menunjukkan kekalahan dan kegagalan parpol Islam. Walaupun ada seruan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memilih calon legislatif (caleg) muslim, tetap tidak dihiraukan.
Menghadapi Pemilu 2009, antusiasme dan keyakinan elit politik partai Islam semakin besar. Mereka percaya bisa merebut suara mayoritas pemilih di Indonesia. Karena itu, parpol Islam memasang target cukup tinggi.
PPP dan PKS, misalnya, yakin bisa menyabet 15% suara. PBB menargetkan 10% dan PBR 7%. Sementara PKB dan PAN yang berbasiskan massa Islam menargetkan masing-masing 20% dan 15%.
Dalam kacamata pengamat politik LIPI, Lili Romli, sebagian besar kalangan elit partai Islam masih belum memahami dan menyadari kecilnya dukungan umat terhadap partai Islam. Ini tercermin dari tidak maunya partai Islam bergabung menjadi satu.
“Bahkan ada yang mendirikan partai baru akibat perpecahan internal. Sebut saja Partai Kebangkitan Nasional Ummat (PKNU) yang merupakan partai baru hasil pecahan dari PKB. Sedangkan lahirnya Partai Matahari Bangsa (PMB) merupakan produk pecahan dari PAN,” papar Lili.
Masa depan partai Islam memang mencemaskan. Dosen Politik Islam UIN Jakarta, Nanang Taqiq, misalnya, menilai secara keseluruhan dukungan pemilih Islam terhadap partai Islam relatif kecil. Merosotnya dukungan ini terkait dengan keberadaan umat Islam yang sebagian besar bersifat sosiologis, ketimbang ideologis. Sehingga mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang Islam sebagai sebuah ideologi.
“Sebagian besar umat Islam memiliki pandangan bahwa agama harus terpisah dari urusan-urusan politik,” kata Nanang.
Agaknya, Islam di Indonesia telah mengalami perubahan orientasi dalam pandangan politiknya. Modernisasi yang dilakukan pemerintah dan tokoh gerakan pembaruan ke-Islaman Nurcholish Madjid, telah membawa dampak cara pandang umat Islam yang tidak lagi terikat dengan simbol-simbol keIslaman. Ada perubahan di kalangan ummat, yang musti dicermati elite politik Islam.
Citra partai Islam yang ingin menegakkan syariat Islam masih melekat dari ingatan pemilih Islam yang mayoritas menolaknya. Belajar dari pengalaman, PKS tidak terlepas dari kebijakan politik ganda antara Islamisme dan good governance.
Sebagai partai Islam, PKS tetap mengusung nilai nilai Islam sebagai kehidupan politik di Indonesia. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai partai dakwah. Sementara dalam mendukung program pemerintahan yang baik, PKS mendasarkan pada partai yang bersih dan jujur. Dua faktor ini lalu menjadi daya tarik bagi pemilih Islam untuk memilih PKS.
Mereka yang memilih PKS sebagian besar berasal dari pemilih partai-partai Islam atau partai berbasiskan Islam. Kebanyakan mereka bukan berasal dari basis dukungan dari partai nasionalis seperti PDIP dan Golkar.
Setidaknya tema-tema yang bersifat keagamaan kurang menarik bagi pemilih Islam. Sebaliknya, mereka menginginkan tema-tema yang berkaitan dengan persoalan-persoalan riil dan strategis yang dihadapi masyarakat selama ini seperti kemiskinan, ketidakadailan, pendidikan yang mahal, dan lapangan kerja yang menyempit.
Dalam Pemilu 2009, partai-partai Islam sangat mungkin kehilangan daya tarik jika isu-isu riil dan strategis justru dikesampingkan. Menjual syariat Islam jelas sudah tak menarik, sementara kemiskinan umat masih membelenggu dan elit parpol Islam nyaris kehilangan gagasan baru yang jitu.
Walhasil, partai-partai Islam masih harus berjibaku dan berebut pemilih, sementara mungkin para konstituennya lari ke golput atau sudah beku. Sungguh, diperlukan sosok-sosok baru yang bisa memberikan api bagi partai Islam, bukan abu yang sudah mendebu. “Berikan api Islam bagi bangsa ini, bukan abunya,” kata Soekarno suatu ketika.
Jadi, hendak kemana partai-partai Islam? Datanglah ke ummat di tingkat bawah dan lakukan pemberdayaan nyata. Dari sana, terkembang harapan dan perolehan suara. [I4]
sumber : inilah.com